Tawadhu’ adalah salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki seorang muslim. Karena dengan sifat tawadhu’ yang selalu menghiasi dirinya seseorang akan menyadari bahwa semua kelebihan dan keistimewaan yang ia miliki bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengannya sifat sombong atau berbangga diri akan hilang. Hal itu karena orang yang memiliki sifat tawadhu’ tidak pernah melihat dirinya memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya sekalipun ia memiliki keistimewaan dan kelebihan. Bahkan tidak pernah terbesit sedikitpun di dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain serta tidak pernah merasa bangga dengan potensi dan prestasi yang sudah ia capai.
Allah Ta’ala telah memerintahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap tawadhu’ kepada orang yang beriman, firman Allah Ta’ala,
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. asy-Syu’ara: 215)
Begitupula Allah Ta’ala melarang kita berlaku sombong dan merasa besar diri. Firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan janganlah kamu palingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk selalu menghiasi diri dengan berlaku tawadhu’. Beliau bersabda,
إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إليَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ، وَلاَ يَفْخَرُ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling berlaku tawadhu’ sehingga tidak ada seorangpun yang membanggakan dirinya atas orang lain, dan tidak ada orang yang melampaui batas terhadap orang lain.” (HR. Muslim, no. 2865)
Makan dari itu, sifat tawadhu’ harus menjadi sifat utama bagi orang yang beriman, karena ketika seseorang memiliki sifat tawadhu’ ia akan benar-benar menghambakan diri kepada Allah Ta’ala tanpa menganggap dirinya tinggi dari orang lain. Di sinilah menjadi titik awal seseorang untuk terhindar dari sifat takabur (sombong).
Terlebih bagi mereka para penuntut ilmu, sudah seharusnya seorang penuntut ilmu untuk menghiasi dirinya dengan sifat tawadhu’, dan hendaklah ia waspada dari merasa ta’ajub dan bangga diri dengan ilmu yang Allah berikan padanya. Begitu juga jangan sampai merasa bahwa kedalaman ilmu yang ia pelajari sudah sampai derajat alim hingga tidak perlu belajar lagi. Lalu ia pun membuka majelis-majelis ilmu dengan tujuan untuk membanggakan ilmunya dan merasa ia lebih tinggi dari kawan-kawannya serta merendahkan manusia dengan menganggap bahwa mereka semua adalah orang bodoh yang sangat membutuhkan ilmunya.
Fudhail bin Iyadh mengingatkan seorang penuntut ilmu agar senantiasa berlaku tawadhu’ dan tidak sombong. Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai orang alim yang rendah hati, membenci alim yang sombong dan suka berbangga diri. Barang siapa yang bertawadhu’ karena Allah maka Allah akan memberikan padanya hikmah.” (Al-Faqih wa Mutafaqqih, 2/113)
Bahkan di saat seorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’nya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin bertambah takut dan kewaspadaannya. Semakin bertambah usianya semakin banyak pula amal kebaikannya. Semakin bertambah hartanya semakin tambah pula kedermawanan dan tinggi kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah kedudukannya semakin bertambah pula kebersamaan dan kecintaannya terhadap sesama. Begitulah tawadhu’ akan selalu ada pada dirinya, tiada sesuatupun yang ia harapkan melainkan ridha Allah Ta’ala.
Seorang ulama pernah berkata, “Apabila engkau bertemu dengan seseorang, hendaklah engkau memandangnya lebih utama dari pada engkau, dan katakanlah kepada diri sendiri ‘mungkin dia lebih baik di sisi Allah dan lebih tinggi derajatnya dari pada aku.’ Bahkan ketika melihat seorang yang lebih kecil darinya kendaklah ia bergumam di dalam hatinya, jangan-jangan orang ini tidak pernah berbuat dosa kepada Allah, sedangkan diriku telah banyak bergelimang dosa yang menjadikan ia lebih baik dari pada aku di sisi Allah Ta’ala.”
Maka ketika seseorang telah memiliki sifat tawadhu’ ia akan merasakan ketenangan, keindahan, dan kenikmatan dalam bermunajat kepada Allah Ta’ala. keikhlasan menjadi satu-satunya teman amal ibadahnya, tidak terbesit kesombongan dan rasa bangga dari kebaikan yang ia kerjakan. Ia tidak merasa dirinya lebih pintar dari teman-temannya, merasa lebih bertaqwa dan lebih takut kepada Allah dalam amal ibadahnya, serta tidak merasa lebih baik dari orang lain yang ada di sekelilingnya. Karena ia sadar kelebihan dan keutamaan yang ada sejatinya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Wallahu a’lam bis shawab.
Fathul M. Abu Aida