Dzikir Tak Sebatas Kalimat Pembasah Bibir

Dzikir Tak Sekedar Pembasah Bibir

Dzikir  bagi hati laksana air bagi ikan. Tanpa air, ikan akan mati. Begitupun hati yang tak pernah disiram dengan dzikrullah.

Tidak kurang dari seratus faedah dzikrullah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam al-Wabil ash-Shayyib. Bagi hati, dzikir bisa membuat tenang, sebagaimana firman-Nya;

اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS: ar-Ra’du: 28)

Setan juga terhalang untuk menggodanya. Ibnu Abbas menjelaskan makna al-waswas al-khannas, “Sesungguhnya setan itu memantau kondisi hati anak Adam, jika ia lalai dari dzikir maka dia menggoda (waswasa), jika ia dzikrullah, maka setan akan menjauh.”

Maka, dzikir yang benar akan terpancar dalam perilaku zahir. Karena ia selalu mengingat Allah, merasa diawasi oleh Allah, sehingga bersemangat untuk beramal shalih, takut dan malu berbuat maksiat.

Jika dzikir yang kita kerjakan belum membekas dalam tindakan nyata, maka ada yang tidak beres pada dzikir yang kita lakukan. Mungkin lafazh atau cara yang tidak sesuai dengan sunnah, atau hati yang tidak sejalan dengan lisan, atau tidak paham makna ucapan yang kita baca.

Atau bisa jadi, tanpa sadar kita telah memisahkan antara dzikir dengan perilaku zahir. Padahal, dzikrullah memiliki dua syarat, hadirnya hati dan kesungguhan jasad (untuk menunaikan tuntutannya), seperti dijelaskan Ibnu al-Jauzi t dalam at-Tadzkirah fil Wa’zhi.

Ada sebuah kisah berkaitan dengan dzikir tak sekedar di lisan ini yang dapat kita ambil hikmahnya. Seorang kakek yang cukup tua memelihara seekor burung Beo. Burung Beo tersebut adalah burung yang sangat cerdas. Dalam kurun waktu yang cukup singkat, kakek tersebut berhasil melatih sang Beo mengucapkan beberapa kata. Sang Kakek tak lupa mengajarkan Beo tersebut melafalkan kalimat dzikir seperti “Subhanallah”, “Laa ilaaha illallah”, “Allahu Akbar”, dan sebagainya. Apabila tamu berkunjung dan mengucap “Assalamu’alaykum”, maka beo itu menjawab “Wa alaykumsalam” dengan fasih.

Suatu ketika, burung itu lepas dari sangkarnya. Sang kakek terkejut, dan dengan bantuan cucunya ia berusaha menangkap kembali burung tersebut. Malang baginya, burung tersebut terbang tak terkontrol dan menabrak mobil yang melintas. Ia sekarat, lalu mati.

Sang kakek sedih bukan main. Cucunya berusaha menghibur sang kakek.

“Jangan sedih, kek. Kita masih bisa mencari beo lain yang lebih pandai sebagai gantinya,” ujar sang cucu

“Kakek sedih bukan karena kehilangan burung beo ini.”

“Lalu kenapa?”

“Engkau lihat, ketika burung itu sekarat, ia hanya bersuara ‘Kak, khhhkkk, kaakkk, kekk’ saja. Padahal ia sudah terlatih untuk mengucap kalimat zikir. Sekalipun tak ada kalimat yang sudah kakek ajarkan, diucapkan olehnya saat sekarat. Kakek khawatir, saat berhadapan dengan maut nanti kakek tak sanggup melafalkan syahadat, melainkan hanya ucapan tak karuan.”

Sang cucu terdiam.

“Padahal ketika sakaratul maut nanti, setiap manusia akan diganggu syaitan,” tambah sang kakek

***

Dzikir janganlah sekedar ucapan sekedar pembasah bibir. Jadikanlah setiap lafaz dzikir kita meresap hingga ke dalam hati. Dzikir yang tak hanya berhenti hingga tenggorokan namun hati tetap kering. Dzikir yang membasahi lisan dan melunakkan hati. Dzikir yang melembutkan tutur kata dan memperindah tingkah laku. Dzikir yang menentramkan hati, itulah dzikir orang yang beriman.

Atha’ bin Abi Rabah juga mengatakan, “Yang dimaksud dzikir adalah tha’atullah, maka barangsiapa yang taat kepada Allah maka dia tengah berdzikir kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat, maka dia tidak dikatakan berdzikir, meskipun ia banyak membaca tasbih dan tahlil.”

Inilah bekas yang paling nyata dari dzikir, bukan sekedar menangis saat mengikuti acara dzikir, tapi tertawa saat bermaksiat. Imam Ibnul Jauzi mengingatkan dalam bukunya Talbis Iblis (Perangkap Iblis);

“Banyak orang yang menghadiri majelis dzikir, ikut menangis dan menampakkan kekhusyu’an, tapi di luar itu mereka tidak meninggalkan praktik riba, curang dalam jual beli, tidak membenahi kekurangannya dalam memahami rukun-rukun Islam, tidak berhenti menggunjing dan mendurhakai orang tua. Mereka adalah orang-orang yang diperdaya oleh Iblis, sehingga mereka beranggapan bahwa majelis dzikir itu bisa menghapus dosa-dosa mereka.”

Dzikir bukan pula sekedar pembasah bibir, tapi tuntutan dzikir adalah amal ketaatan itu sendiri. Memang Nabi n menyuruh kita membasahi lisan kita dengan dzikrullah.

 لاَ يَزالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللهِ

“Hendaknya lisanmu selalu basah dengan dzikrullah.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah)

Tapi, tentu yang dimaksud bukan hanya membasahi bibir. Hadits itu merupakan kinayah (kiasan) tentang anjuran memperbanyak dzikir dan melaziminya, sebagaimana dijelaskan oleh al-Mubaarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, syarah Sunan TirmidziWallahu a’lam

Pendaftaran Santri Baru Tahun Ajaran 2022/2023

About pptqluha

Baca Juga

Sikap Ihsan Tameng Keburukan

Sabaik-baik Makhluk Manusia adalah makhluk yang Allah ‘Azza Wa Jalla ciptakan dengan bentuk yang sangat …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *