Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Untuk melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari pengakuan bahwa kita sudah berIslam membutuhkan ilmu. Sehingga kita sebagai seorang muslim diperintahkan menuntut ilmu. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak atau orang dewasa dimanapun dan kapan pun.
Dengan menuntut ilmu kita bisa menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan kita. kapasitas ilmu kitapun bisa terlihat dari sikap kita. sampai mana ilmu yang kita miliki. Umar bin Khattab menyebutkan bahwa ada tiga tahapan dalam menuntut ilmu. Umar bin Khattab mengatakan:
“Ilmu ada tiga tahapan. Jika seorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua ia akan tawadhu’. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya”
Biasanya orang yang masih baru belajar baik itu ilmu agama atau ilmu apa saja, dia akan menjadi sombong. Karena dia merasa sudah berada pada posisi yang paling mulia merasa sudah berilmu, sementara orang lain yang mungkin belum belajar ilmu itu dianggap lebih rendah dari pada dia. Padahal, mungkin kondisinya dialah yang masih banyak kekurangan dan jahil (bodoh).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam :
ا“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. [HR. Muslim]
Dosa pertama yang dilakukan oleh makhluk Allah Ta’ala adalah kesombongan iblis. Ketika disuruh sujud (penghormatan) oleh Allah kepada Adam, dirinya merasa lebih baik dari manusia dengan alasan; tercipta dari api, sedangkan Adam dari tanah. Sejak saat itu iblis disebut pembangkang dan terusir dari Surga.
Lain halnya dengan Adam, tidak pernah sekali-kali terlihat sifat sombong pada dirinya. Padahal, dirinya memiliki keunggulan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, yaitu: dikaruniai ilmu oleh Allah Ta’ala. Bahkan ketika akhirnya tergoda oleh bujuk rayu iblis, ia tidak melakukan apologi, namun mengakui kesalahannya dengan doa yang menggambarkan kerendahhatian.
“Ya Tuhan kami! Kami telah menzalimi diri kami sendiri. Dan jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, niscaya kami menjadi bagian dari orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf [7]: 23)
Kemudian ketika seseorang masuk ke tahapan kedua dalam hal Ilmu, maka dia akan merasa masih banyak hal yang belum dia ketahui dan itu membuat dia lebih tawadu’. Seperti padi, semakin banyak memiliki ilmu, semakin merunduk. Tahapan ini lebih meningkat dari tahapan pertama tadi. Di hatinya sudah tak ada lagi rasa sombong, bahkan dia lebih merendahkan hatinya terhadap orang lain.
Karena itulah, ulama sejati akan selalu tawadu’. Dia tidak akan merasa paling berilmu serta meremehkan orang lain. Semakin bertambah ilmu, dirinya merasa semakin bodoh, karena sejatinya yang diberikan oleh Allah kepada dirinya hanyalah sangat sedikit dibanding keluasan ilmu Allah Ta’ala.
Salah satu contohnya adalah beliau Imam Ibnul Quyyim Al-Jauziyah. Kita bisa menemukan sosok ulama teladan yang begitu rendah hati. Bayangkan! Dalam kitab “Dzailu Thabaqāt al-Hanābilah” dikisahkan di akhir hidupnya beliau pernah bercerita telah menulis dua ribu jilid buku, menobatkan 100 ribu orang dan membuat 20 ribu orang Yahudi dan Nasharani masuk Islam. Lebih dari itu, jumlah minimal hadirin yang mengaji pada beliau adalah 10 ribu orang. Meski demikian, tidak ada kesombongan yang ditonjolkan oleh beliau. Beliau justru semakin merasa rendah hati.
Dalam kisah masyhur disebutkan, menjelang wafat beliau kerendah hatian itu masih sangat tampak. Menjelang ajal tiba, beliau sempat berujar kepada murid-muridnya, “Jika kelak di surga kalian tidak menjumpaiku, maka tanyakanlah kepada Allah perihalku: ‘Ya Allah ya Tuhan kami, sesungguhnya hambamu Si Fulan (Ibnu Jauzi) dulu di dunia telah mengingatkan kami tentang diri-Mu.’ Lantas kemudian Ibnu Jauzi menangis.
Ulama yang sedemikian dalam dan luasanya itu tidak pernah merasa tinggi hati. Betapapun jasa-jasanya begitu besar dalam Islam, namun dia menafikan eksistensi dirinya. Dirinya adalah fakir ilmu di hadapan Allah. Ilmu yang luas tidak digunakan untuk merendahkan dan meremehkan orang lain.
Kemudian masuk ke tahapan terakhir, yaitu tahapan ketiga. Yaitu tahapan dimana seseorang yang semakin berilmu dia semakin merasa tidak ada apa-apanya, semakin merasa kecil. Karena di tahap ini dia merasa ilmu itu seperti lautan yang begitu luas. Ketika dia mendapat satu ilmu, maka di dalam dirinya akan merasa kurang, dia haus akan ilmu, dan bahkan mengabdikan seluruh hidupnya untuk terus belajar dan belajar meraih ilmu sebanyak-banyaknya.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah : 11)
Manfaat orang yang memiliki ilmu akan Allah angkat derajatnya baik itu di dunia maupun di akhirat, dan orang yang berilmu juga memiliki kaitan erat dengan akhlaq seseorang yang telah memiliki ilmu, semakin tinggi ilmu seseorang maka akan semakin bagus juga akhlaq yang dimilikinya.
Setelah mengetahui tahapan-tahapan berikut, mari kita bertanya, sudah sampai di tahap manakah ilmu kita?